‘ Perubahan Pola Penyakit Dan Kematian Di
Indonesia Yang Berkaitan Dengan Fisioterapi‘
Mata
Kuliah : Epidemiologi
Nama : Rizqa Umami
Nim : 201466001
Sesi : 02
Fakultas/Jurusan : Fisioterapi
Universitas Esa Unggul
Jakarta
BAB I
PENDAHULUAN
Masalah
kesehatan bukan sekedar masalah sakit atau tidak sakit serta penanggulangannya,
tetapi lebih luas dan majemuk dari yang diperkirakan dari segi penanggulangan
maupun dari segi pencegahan. Meskipun telah banyak pengamatan dan
penanggulangan masalah kesehatan yang dilakukan oleh para ahli, namun hanya
sebagian kecil yang dapat ditanggulangi. Keadaan tersebut mencerminkan bahwa
hanya sebagian kecil, masalah kesehatan yang muncul ke permukaan jangkauan
manusia. Walaupun dengan pertumbuhan teknologi dan ilmu pengetahuan di bidang
kedokteran sekarang ini, masalah kesehatandengan segala kemajemukannya tidak akan mampu
ditangani hanya dengan monopoli ilmu kedokteran, tanpa adanya keterlibatan
disiplin ilmu lainnya (Dainur, 1995).
Di Indonesia transisi epidemiologi menyebabkan terjadinya
pergeseran pola penyakit, di mana penyakit kronis degeneratif sudah terjadi peningkatan.
Penyakit degeneratif merupakan penyakit tidak menular yang berlangsung kronis
seperti penyakit jantung, hipertensi, diabetes, kegemukan dan lainnya.
Kontributor utama terjadinya penyakit kronis adalah pola hidup yang tidak sehat
seperti kebiasaan merokok, minum alkohol, pola makan dan obesitas, aktivitas
fisik yang kurang, stres, dan pencemaran lingkungan.Sehingga Indonesia
menanggung beban ganda penyakit dibidang kesehatan, yaitu penyakit infeksi
masih merajalela dan ditambah lagi dengan penyakit-penyakit kronik degenerative.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji
faktor-faktor yang berhubungan dengan pola kematian penyakit degeraratif di
Indoensia, khususnya mengkaji hubungan karakteristik dan akses yankes terhadap
kematian penyakit degeneratif ENMD (Endocrin, mentional and metabolic disease)
dan DCS (Desease of Circulatory System) pada usia ≥15 tahun melalui uji
analisis regresi. Data yang digunakan adalah data seluruh provinsi di Indonesia
pada Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007. Hasil analisis menunjukkan bahwa
tingkat ekonomi miskin dan menengah lebih berisiko terjadi kematian penyakit degeneratif
ENMD dan DCS dibandingkan tingkat ekonomi kaya. Sedangkan populasi dengan
kelompok umur 45–54 tahun lebih berisiko terjadi kematian penyakit degeneratif
DCS dibandingkan umur ≥33
tahun.
Pola penyakit di Indonesia ini setara dengan negara–negara
lain berpeng-hasilan kurang–lebih sama. Hal ini tampak jelas apabila ditelaah
keadaan penyakit di berbagai negara, ternyata “negara yang tergolong ‘miskin’
banyak menderita penyakit menular, sedangkan negara yang tergolong ‘kaya’
banyak menderita penyakit tidak menular”. Keadaan seperti ini dapat dijelaskan
sebagai berikut:
- Negara/masyarakat miskin atau berstatus sosial ekonomi rendah, keadaan gizinya rendah, pengetahuannya tentang kesehatannya pun rendah, sehingga kesehatan lingkungannya buruk dan status kesehatannya buruk. Di dalam masyarakat sedemikian akan mudah terjadi penularan penyakit, terutama anak–anak yang merupakan golongan peka terhadap penyakit menular. Sebagai akibatnya, banyak terjadi kematian anak, sehingga usia harapan hidupnya pendek. Keadaan ini juga mendukung tingginya angka kelahiran, sehingga terdapat populasi yang muda; jadi tergolong populasi dengan risiko tinggi terhadap penyakit menular, sehingga penyakit menular terus–menerus ada, dengan demikian siklus penyakit menular menjadi lengkap.
- Siklus penyakit tidak menular, yaitu terdapat banyak pada masyarakat dengan status sosial ekonomi tinggi, sehingga berstatus gizi tinggi, keadaan kesehatan lingkungan baik, penyakit menular rendah, angka kematian rendah, angka kematian bayi rendah, dan usia harapan hidupnya tinggi.
- Perkembangan ekonomi diikuti dengan turunnya penyakit menular dan disertai dengan naiknya penyakit tidak menular.
Berdasarkan pola penyakit, dapat
diketahui permasalahan kesehatan yang paling menonjol di suatu daerah, sehingga
dapat ditentukan usaha kesehatan apa yang perlu dilakukan dan kegiatan apa pula
yang diprioritaskan, serta sarana dan prasarana yang diperlukan untuk
melaksanakan usaha kesehatan. Selain itu, dapat pula dilihat bahwa sarana dan
prasarana akan berubah dengan berubahnya pola penyakit. Mungkin saja bahwa saat
ini diperlukan rumah sakit khusus untuk tubercolosis, tetapi dengan
adanya perubahan pola penyakit, rumah sakit tadi tidak lagi diperlukan dan
harus berubah fungsinya, misalnya menjadi rumah sakit kanker.
BAB
II
ISI
Penyakit jantung koroner terutama disebabkan oleh kelainan
miokardiumakibat insufisiensi aliran darah koroner karena arterosklerosis yang
merupakan proses degeneratif, di samping faktor-faktor lainnya. Karena itu
dengan bertambahnya usia harapan hidup manusia Indonesia, kejadiannya akan
makin meningkat dan menjadi suatu penyakit yang penting; apalagi sering
menyebabkan kematian mendadak.
Penyebab degeneratif lainnya yaitu
Diabetes Mellitus (DM). Saat ini DM masih menduduki peringkat ke-empat sebagai
epidemik dunia yang menyebabkan kematian (Harmanto N, 1997). Dalam atlas
diabetes diperkirakan penduduk Indonesia di atas 20 tahun sebanyak 125 juta
dengan asumsi prevalensi DM sebesar 4,6% maka diperkirakan pada tahun 2000
jumlah penderita DM berjumlah 5,6 juta orang. Sedangkan pada tahun 2020 akan
didapatkan sekitar 8,2 juta penderita DM.
Hal ini
disebabkan adanya perubahan pola hidup di kawasan Jawa-Bali, di mana pada
kehidupan daerah urban terjadi perubahan di segala aspek meliputi sosial,
ekonomi, budaya dan politik. Kurangnya lapangan kerja, penghasilan yang tidak
mencukupi, status perkawinan, pendidikan yang semakin mahal, kawasan tempat
tinggal dan sebagainya, dapat memengaruhi kondisi kesehatan seseorang. Kondisi
tersebut dapat menimbulkan gangguan emosional berupa stres psiko-sosial.
Perubahan pola makan banyak mengkonsumsi makanan instant dan keadaan lingkungan
dengan banyaknya pencemaran yang dapat bermanifestasi pada gangguan kesehatan.
Selain kepadatan penduduk karena arus urbanisasi yang mengakibatkan buruknya
sanitasi lingkungan menyebabkan tetap tingginya penyakit infeksi.
Analisis lanjut studi mortalitas tahun
2001 menunjukkan bahwa kematian cenderung lebih banyak di perdesaan daripada
perkotaan. Hal ini dapat disebabkan antara lain karena kurang meratanya
distribusi tenaga kesehatan di wilayah perdesaan dan kurangnya sarana prasarana
di fasilitas kesehatan yang ada. Selain itu jarak dan sarana transportasi dapat
membatasi kemauan dan kemampuan untuk mencari pelayanan kesehatan. Hambatan
sarana transportasi atau biaya transportasi seperti tidak adanya transportasi
umum menyebabkan penderita harus mengeluarkan biaya transpor yang cukup tinggi
untuk membayar sewa kendaraan. Sebagaimana dilihat dari tempat kematian
memprihatinkan karena sebagian besar (≥ 60%) kejadian kematian di rumah. Selain
itu masih banyak kematian yang tidak ada catatan medis/tidak memadai atau tidak
ada laporan ke Dinkes kab./provinsi/pusat serta laporan tidak terstandardisasi
dengan baik (ICD 10) atau laporan tidak memadai untuk tingkat nasional.
Gambar 1. Presentasi
Kematian Penyakit Degeneratif ≥ 15 Tahun Berdasarkan Penyakit ENMD, DCS, dan Non (ENMD+DCS)
Penyakit degeneratif adalah penyakit yang bersifat tidak menular,
kronis (menahun), timbul karena semakin menurunnya (kemunduran) kondisi dan
fungsi organ tubuh seiring dengan proses penuaan. Ada sekitar 50 penyakit
degeneratif, antara lain: penyakit jantung dan pembuluh darah (hipertensi,
jantung, stroke), endokrin (diabetes mellitus, thyroid, kekurangan nutrisi,
hiperkolesterol), neoplasma (tumor jinak, tumor ganas), osteophorosis, gangguan
pencernaan (konstipasi, wasir, kanker usus), dan kegemukan.
Gambar 2. Persentase
penyebab kematian penyakit ENMD dan DCS individu usia ≥ 15 tahun, menurut umur
saat meninggal
Kematian penyakit degeneratif DCS terbanyak pada usia ≥ 55 tahun.
Memasuki usia 30 tahun, pembuluh darah manusia secara perlahan tapi
pasti mulai kehilangan daya elastisitasnya. Kondisi ini akan terus berlanjut
hingga usia rata-rata manusia setinggi 80 tahun. Proses penuaan pembuluh darah
sendiri terjadi pada usia 40–50 tahun. (Setianto, B, 2007). Faktor usia
memengaruhi kemunduran fungsi tubuh termasuk kekakuan pembuluh darah (mengkerut
dan menua). Bertambahnya usia juga memengaruhi penurunan fungsi hormone
estrogen dan testosterone dalam mendistribusikan lemak, sehingga memungkinkan
terjadinya penimbunan lemak dalam tubuh. Bahayanya bila penimbunan lemak
menempel pada dinding pembuluh darah maka penimbunan ini akan mempersempit
aliran darah, apalagi bila pembuluh darah telah menua. Kondisi ini dapat
meningkatkan tekanan darah yang dapat mengganggu proses metabolisme tubuh
Gambar 3. Persentase
penyebab kematian penyakit ENMD dan DCS individu usia ≥ 15 tahun, menurut jenis
kelamin
Perempuan lebih banyak terdapat pada kematian penyakit degeneratif
ENMD dan DCS. Usia 40–60 tahun merupakan masa krisis bagi
perempuan. Pada usia ini perempuan biasanya sedang mencapai puncak karir, dan
justru pada masa tersebut mereka akan mengalami menopause (usia 45–55 tahun).
Kondisi menopouse dapat menurunkan produksi hormon wanita (estrogen dan
progesteron). Dengan penurunannya, maka distribusi lemak tubuh mulai terganggu.
Penimbunan lemak yang tidak terdistribusi dengan baik akan memengaruhi
metabolisme tubuh. Bila proses ini diikuti dengan pola makan, gaya hidup, dan
aktivitas tidak sehat secara berkepanjangan, maka setelah usia 60 tahun
individu akan rentan terhadap serangan penyakit degeneratif. Kondisi perekonomian
yang sulit seperti saat ini, memungkinkan perempuan bekerja untuk menambah
nafkah keluarga. Kondisi di luar rumah memudahkan mereka terpapar terhadap pola
hidup tidak sehat. Kompleksnya permasalahan seperti kurangnya lapangan
pekerjaan, penghasilan keluarga tidak cukup, pendidikan anak yang semakin
mahal, perkawinan tidak harmonis, juga sering bermanifestasi pada timbulnya
gangguan emosi dan stres psiko-sosial yang sering mengawali terjadinya penyakit
degeneratif. Bila kondisi ini berlarut-larut tanpa penanganan yang cepat, maka
kematian akibat komplikasi penyakit degeneratif dapat terjadi lebih dini.
Gambar 4. Persentase
penyebab kematian penyakit ENMD dan DCS individu usia ≥ 15 tahun, menurut tipe
daerah
Tipe daerah pada
kematian penyakit degeneratif ENMD dan DCS banyak terdapat di perkotaan, karena
kota merupakan daerah urban dengan berbagai permasalahannya. Faktor penting
terjadi banyaknya kematian penyakit degeneratif di perkotaan sangat ditunjang
dengan kebiasaan pola makan, gaya hidup, pola gerak yang salah serta faktor
stres psiko-sosial yang cukup tinggi.
Kondisi
kesehatan di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat berarti dalam
beberapa dekade terakhir. Sebagai contoh, angka kematian bayi turun dari 118
kematian per seribu kelahiran di tahun 1970 menjadi 35 di tahun 2003, dan angka
harapan hidup meningkat dari 48 tahun menjadi 66 tahun pada periode yang sama.
Perkembangan ini meperlihatkan dampak dari ekspansi penyediaan fasilitas
kesehatan publik di tahun 1970 dan 1980, serta dampak dari program keluarga
berencana. Meski demikian masih terdapat tantangan baru sebagai akibat
perubahan sosial dan ekonomi:
1. Pola penyakit yang semakin kompleks,
Indonesia saat ini berada padapertengahan transisi epidemiologi dimana penyakit
tidak menular meningkat drastis sementara penyakit menular masih menjadi
penyebab penyakit yang utama. Kemudian saat ini penyakit kardiovaskuler
(jantung) menjadi penyebab dari 30 persen kematian
di Jawa dan Bali. Indonesia juga berada diantara sepuluh
negara didunia dengan penderita diabetes terbesar. Di saat bersamaan penyakit
menular dan bersifat parasit menjadi penyebab dari sekitar 22 persen kematian.
Angka kematian ibu dan bayi di Indonesia juga lebih tinggi dibandingkan dengan
kebanyakan negara tetangga. Satu dari dua puluh anak meninggal sebelum mencapai
usia lima tahun dan seorang ibu meninggal akibat proses melahirkan dari setiap
325 kelahiran hidup. Perubahan yang diiringi semakin kompleksnya pola penyakit
merupakan tantangan terbesar bagi sistem kesehatan di Indonesia.
2.
Tingginya
ketimpangan regional dan sosial ekonomi dalam sistem
kesehatan. Dibanyak propinsi, angka kematian bayi dan
anak terlihat lebih buruk dibandingkan dengan situasi di beberapa negara Asia termiskin.
Kelompok miskin mendapatkan akses kesehatan yang paling buruk dan umumnya
mereka sedikit mendapatkan imunisasi ataupun mendapatkan bantuan tenaga medis
yang terlatih dalam proses melahirkan. Kematian anak sebelum mencapai usia lima
tahun dari keluarga termiskin mencapai sekitar empat kali lebih tinggi
dibandingkan anak dari keluarga terkaya. Tingginya tingkat terkena penyakit,
baik yang disebabkan dari penyakit menular maupun penyakit tidak menular, telah
mengurangi kemampuan orang miskin untuk menghasilkan pendapatan, dan hal ini
berdampak pada lingkaran setan kemiskinan.
3.
Angka penularan HIV/AIDS meningkat namun wabah tersebut sebagian besar
masih terlokalisir. Diperkirakan sekitar 120.000 penduduk Indonesia terinfeksi
oleh HIV/AIDS, dengan konsentrasi terbesar berada di propinsi dengan penduduk yang sedikit (termasuk Papua) dan di kota
kecil maupun kota besar yang terdapat aktifitas industri, pertambangan,
kehutanan dan perikanan. Virus tersebut menyebar lebih lambat dibandingkan
dengan yang diperkirakan sebelumnya. Akan tetapi penularan virus tersebut
meningkat pada kelompok yang berisiko tinggi, yaitu penduduk yang tidak
menerapkan perilaku pencegahan terhadap virus tersebut, seperti menggunakan
kondom pada aktivitas seks komersial atau menggunakan jarum suntik yang bersih
dalam kasus pecandu obat-obatan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Masalah
kesehatan bukan sekedar masalah sakit atau tidak sakit serta penanggulangannya,
tetapi lebih luas dan majemuk dari yang diperkirakan dari segi penanggulangan
maupun dari segi pencegahan. Meskipun telah banyak pengamatan dan
penanggulangan masalah kesehatan yang dilakukan oleh para ahli, namun hanya
sebagian kecil yang dapat ditanggulangi. Keadaan tersebut mencerminkan bahwa
hanya sebagian kecil, masalah kesehatan yang muncul ke permukaan jangkauan
manusia. Walaupun dengan pertumbuhan teknologi dan ilmu pengetahuan di bidang
kedokteran sekarang ini, masalah kesehatandengan segala kemajemukannya tidak akan mampu
ditangani hanya dengan monopoli ilmu kedokteran, tanpa adanya keterlibatan
disiplin ilmu lainnya (Dainur, 1995).
Pola
penyakit di Indonesia ini setara dengan negara–negara lain berpeng-hasilan
kurang–lebih sama. Hal ini tampak jelas apabila ditelaah keadaan penyakit di
berbagai negara, ternyata “negara yang tergolong ‘miskin’ banyak menderita
penyakit menular, sedangkan negara yang tergolong ‘kaya’ banyak menderita
penyakit tidak menular”.
Penyakit
jantung koroner terutama disebabkan oleh kelainan miokardiumakibat insufisiensi
aliran darah koroner karena arterosklerosis yang merupakan proses degeneratif,
di samping faktor-faktor lainnya. Karena itu dengan bertambahnya usia harapan
hidup manusia Indonesia, kejadiannya akan makin meningkat dan menjadi suatu
penyakit yang penting; apalagi sering menyebabkan kematian mendadak.
Penyakit degeneratif adalah
penyakit yang bersifat tidak menular, kronis (menahun), timbul karena semakin
menurunnya (kemunduran) kondisi dan fungsi organ tubuh seiring dengan proses
penuaan. Ada sekitar 50 penyakit degeneratif, antara lain: penyakit jantung dan
pembuluh darah (hipertensi, jantung, stroke), endokrin (diabetes mellitus,
thyroid, kekurangan nutrisi, hiperkolesterol), neoplasma (tumor jinak, tumor
ganas), osteophorosis, gangguan pencernaan (konstipasi, wasir, kanker usus),
dan kegemukan.
B. Daftar
Pusaka
http://siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/280016 1106130305439/617331-1110769011447/810296-1110769073153/health.pdf http://www.kompasiana.com/dwiyan/transisi-epidemiologi-dan-kesehatan_5512c8e1813311d122bc5fb9
Tidak ada komentar:
Posting Komentar